Cerita Panji dan Kebaharian Nusantara

FestivalPanji.id – Indonesia adalah sebuah gambaran statistik keragaman yang luar biasa impresif: terdiri dari kurang lebih 17 ribu pulau tersebar di sepanjang kepulauan terbesar dunia sepanjang 3200 mil membentang melintasi garis khatulistiwa serta dihuni oleh lebih dari 200 juta penduduk, yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnik dan beragam agama, ras dan kelompok sosial.

Letak geografisnya ini menjadikannya sebagai negara topis (dan kepulauan, bahari, maritim) dengan berbagai konsekuensi antropologis kehidupan penduduknya. Teknologi pelayaran dan perkapalan yang berkembang di kepulauan ini, sudah tercatat sejak 5000 SM, dan sejak 1000 SM merajai bahkan menjadi andalan berbagai bangsa dunia untuk ekspedisi lautnya.

Dahana (2010) menyebut kemampuan masyarakat maritim itu tidak hanya berhasil mendistribusikan bahasa, teknologi, seni, dan tradisi lainnya hingga ke separuh dunia, bahkan telah menciptakan globalisasi untuk pertama kalinya di bumi ini. Suku Bajo dari Sulawesi, misalnya, adalah salah satu nomad-maritim tertua di dunia, yang melihat laut sebagai rumah dan daratan sebagai rantau.

Anthony Read dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (1990) juga membuktikan bahwa Nusantara pada zaman itu, merupakan masyarakat berkebudayaan modern yang mempunyai banyak unsur-unsur modernitas. Read bahkan melengkapinya dengan data-data yang menggambarkan kemakmuran dan otonomitas masyarakat Nusantara masa lalu.

Masyarakat Nusantara diikat oleh satu kesatuan primordialisme budaya yang disebarkan atau dirangkai-jahitkan oleh para pelayar Nusantara yang terdiri dari kaum pedagang, penyebar agama, pendekar bangsawan pengembara. Kaum Eropa menyebutnya sebagai “bajak laut” sehingga kini masuk kosakata bahasa Inggris sebagai “The Bogey” atau “Bogeyman” yang berarti “hantu laut atau bajak laut” yang mengacu kepada suku-bangsa “Bugis” (Daery, 2011) Peran para pedagang-pelayar-penyebar agama-bangsawan pendekar pengembara itu, membuat Nusantara yang terpisah satu dari lainnya karena laut yang membentang, menjadi “kesatuan budaya” dalam “nilai-nilai modernitas” yang tak ada jarak.

Adrian Vickers (2009) membuktikannya dengan simbol-simbol perahu di kain tenun tapis Lampung dengan lukisan “tradisional” Bali, yang sama dan senada menggambarkan migrasi kelautan. Simbolisme kapal dalam kebudayaan kita, lazimnya dalam bentuk peti mati atau sarkofagus, memang digunakan di berbagai daerah Indonesia (seperti Marapu, Lombok dan Bali) untuk mempresentasikan perjalanan jiwa, gerak menempuh babak-babak kehidupan.

Dinamika masyarakat maritim Nusantara ini tentu saja membawa dan mengembangkan juga kultur yang pluralistik, terbuka, egaliter dan kosmopolit. Dalam catatan, sejarah negeri ini memang berawal dari kerajaan yang berada di dekat laut dan memiliki bandar. Begitu menariknya kehidupan di pantai, hingga Vickers menyebutnya sebagai sebuah entitas yang menyediakan wawasan tentang peradaban khas Asia Tenggara. Hal ini terwujud dalam teknologi, cara pikir, pola perilaku, hingga sistem-sistem kepercayaan dan bermasyarakat yang diterapkannya (hukum, ekonomi, politik dan diplomasi). Terdapat mata rantai perdagangan, pertukaran intelektual, pergerakan manusia, pergerakan motif-motif dan bentuk-bentuk kesusastaraan dan kesenian yang menyediakan wawasan tentang peradaban khas Asia Tenggara.

Ekspansi kebudayaan Nusantara juga dibuktikan oleh Th. Pigeaud, filolog Belanda yang mengidentifikasi mengenai sastra pesisir. Istilah ini digunakan dalam aktivitas penyebaran sastra yang terkait dengan kebangkitan kerajaan Islam yang memiliki bandar-bandar besar di Jawa (Surabaya-Gresik, Demak-Jepara dan Cirebon-Banten). Dari pusat-pusat ini sastra pesisir menyebar ke Lombok, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Aceh hingga ke Campa, Kamboja, Filipina. Lebih jauh ia menemukan bahwa banyak sastra Melayu yang juga merupakan bagian dari kompleks kesusatraan pesisir. Dalam bermacam-macam konteks dan bahasa, satu jenis narasi yang terus-menerus muncul sebagai contoh sastra pesisir adalah cerita Panji.

Panji
Roman cerita Panji, Pangeran Jawa dari Kahuripan adalah kisah asli Jawa Timur, bukan cerita adaptasi India seperti Ramayana dan Mahabharata. Cerita yang berkisah mengenai Kerajaan Kadiri ini berkembang pesat pada masa Majapahit. Di Jawa Timur bahkan terdapat lebih dari dua puluh situs purbakala yang berkaitan dengan cerita ini, termasuk patung Panji yang ditemukan di sebuah candi di lereng Penanggungan.

Menurut Purbatjaraka, awalnya cerita Panji ditulis sebagai sastra kidung dalam bahasa Jawa Tengahan yang dalam perkembangannya ditulis dalam bahasa Jawa Baru berbentuk macapat. Di Sumatera dikenal cerita Panji Angreni, Hikayat Raja Kuripan, Hikayat Rangga Rari dan sebagainya yang menggunakan bahasa Melayu. Catatan lain menyebutkan di Thailand terdapat cerita Panji berjudul Dalang (Inau Yay) dan Inau (Inau Lek). Di Burma terdapat pula cerita Panji berjudul Ienaungzat yang ditulis oleh seorang menteri Negara Raja Bodawhpaya, serta masih banyak lagi kesamaan cerita Panji lainnya.

Panji adalah cerita tentang budaya Indonesia. Sebagai dokumen kultural, teks-teks ini menguraikan pola-pola aktivitas yang mengatur kehidupan rakyat. Cerita Panji juga dapat dibaca sebagai sumber pengetahuan tentang kebudayaan Nusantara dalam aktivitas artistik. Di dalamnya ada kesenian (sastra, seni pertunjukan, seni rupa, seni tari), sejarah, arkeologi, filsafat, politik, bahkan terkait dengan aspek lingkungan hidup.

Cerita Panji sebagai sastra pesisir adalah kiprah peradaban. Narasi-narasi itu menyediakan kiblat dan menguraikan hakikat peradaban tersebut kepada para partisipannya. Narasi Panji, sebagai bagian dari proses produksi peradaban Pesisir, menyediakan struktur logika berupa kearifan lokal yang kontekstual terhadap perubahan dan keragaman.Cerita Panji semakin menguatkan posisi kebaharian Nusantara.

Oleh karenanya diperlukan upaya strategis melalui kebudayaan untuk merevitalisasi diri sebagai bangsa bahari. Sosok dan konsep pemikiran cerita Panji bisa menjadi refleksi mutakhir yang relevan dengan kondisi kekinian. Ia tak hanya romantisme imaji dan narasi, namun basis logika yang membuka ruang pemaknaan. Hal ini penting untuk merumuskan rancangan strategi kultural bagi masa depan bangsa yang lebih cemerlang dan bermartabat.


Ditulis oleh Purnawan Andra, peminat kajian tari dan antropologi seni, alumnus Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan – ISI Surakarta. Artikel ini sudah dimuat di Harian Solopos rubric Gagasan edisi 8 Maret 2014