Mitos selama ini menjadi bagian inheren dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi simbolis atas nilai-nilai tertentu (lelaki-perempuan, kelembutan-kekuasaan, basah hujan-kering) yang terlambangkan dalam elemen-elemen kehidupan, pekat menghidupi keseharian masyarakat kita.
Kepercayaan yang telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari tersebut menimbulkan interpretasi kreatif dalam benak. Namun sebagai konsepsi nilai tertinggi, maka mitos-mitos tersebut memuat interpretasi visual yang mewujud dalam bentuk purbanya sebagai topeng: ia tidak berjenis kelamin, multi simbol dan perspektif serta sangat antropologis.
Topeng menjadi benda mitologis yang mendekatkan dirinya dengan konsep idealitas, dalam personifikasi yang paling dekat dan bisa disentuh. Sehingga pada saat yang sama, konsep mitos itu sendiri mendapat justifikasinya dalam wujud topeng. Topeng mewakili dan mencipta sakralitas nilai yang ekspresif, personifikasi nilai yang mewujud serta (pada saat yang sama) proses pengenalan subyektifitas yang mengambang. Hal ini tampak jelas ketika masyarakat menggunakan topeng sebagai elemen ekspresinya dalam berbagai ritus maupun seni pertunjukan komunal, baik sebagai sebuah karya seni maupun menjadi bagian dari repertoarnya.
Panji
Sugeng Toekio (1996: 58) menyebutkan bahwa topeng muncul sebagai bagian dari seni pertunjukan, melalui sebuah manuskrip bahwa pada sekitar abad 11 saat pemerintahan kerajaan Jenggala disebutkan ada suatu pertunjukan dengan menggunakan tutup muka yang disebut dengan kata tapel (topeng). Hikayatnya kemudian kita kenal sebagai cikal bakal pertunjukan Panji, suatu bentuk pertunjukan dimana penyaji menggunakan topeng.
Roman cerita Panji, kisah asli Jawa Timur, bukan adaptasi dari India seperti halnya Ramayana dan Mahabarata, adalah adalah contoh budaya Nusantara yang menyebar bahkan hingga ke wilayah Asia. Cerita Panji sebagai sosok pangeran yang sederhana dan manusiawi adalah epik yang mengetengahkan intrik kemanusiaan mulai dari politik, tata negara, religiusitas sampai dengan ideologi (cross) gender, yang telah mengemuka pada jamannya.
Kakawin Smaradahana gubahan Mpu Dharamaja sejauh ini merupakan sumber yang bisa ditelusur, yang menyebutkan tentang kisah Panji. Kitab ini menceritakan kisah cinta Smara (Batara Kamajaya) dan Dewi Ratih dihadapan Dewa Siwa. Smaradahana menyebutkan nama Prabu Kameswara (1115-1130 M) raja Kediri merupakan titisan Batara Kamajaya yang ketiga. Permaisuri baginda bernama Sri Kiranaratu, putri dari kerajaan Jenggala. Raja inilah yang dalam cerita Panji dikenal dengan nama Inu Kertapati dan permaisurinya juga bernama Kirana, yaitu dewi Candra Kirana (Purbacaraka, 1966: xi).
Seturut logika pementasan teater (tradisional maupun modern), mitos kedewataan yang mengikutinya membuat topeng tercipta untuk membantu pelaku dalam menampilkan emosi, gerak tubuh, ekspresi gesture sesuai dengan perwatakan yang dibawakannya.
Kisah cinta itu sendiri, disatu sisi, menjadi local genius yang diciptakan Kameswara. Sebagai tambahan asumsi, terlebih berdasar dari kenyataan sejarah garis keluarga, bahwa Kediri dan Jenggala terpaksa harus dibagi karena alasan cinta Airlangga kepada para putranya. Dan kini, dalam diri sosok Kameswara, keagungan kedua kerajaan itu bersatu dalam masa pemerintahannya. Itulah kenapa, muncul sosok Semirang, sebagai seorang cross gender: antara kekuatan lelaki (eks Jenggala), namun tetap difungsikan sebagai bagian dari dirinya, sebagai “istri”, perpaduan kekuatan dan kelembutan sekaligus dalam kekuasaan yang merajai tanah Jawa. Cerita Panji masuk dalam analog logika simbolisasi kekuasaan.
Logika
Mitologi mewujud dalam visiologi tokoh: Panji sebagai tokoh ideal, perwujudan surya yang menerangi alam, roh utama yang juga bukan berjenis kelamin. Dalam ekspresi seni topeng, perwujudannya pun bukan berwajah satria lelaki; tapi berwajah halus menyerupai perempuan, tidak membuka mata namun mampu melihat isi hati, seperti hidup dalam alam maya-sesuatu di ambang batas, yang mengetahui sisi yang satu diantara sisi lainnya. Topeng dari mitos, dalam wujudnya dan juga saat menarikannya adalah fase meditatif: antara sadar dan tiada, antara bangun dan tidur, menuju kebahagiaan diri.
Dalam analogi yang sama, Semar dan Janaka (tokoh-tokoh utama dalam Mahabharata) mengada sebagai sangkan paran, jejer utama sosok manusia Jawa yang berinkarnasi membawa kabar kebaikan dan keburukan sekaligus, juga menata serta mampu merusak dunia demi harmonisasi nantinya. Ia punya dua sisi kemanusiaan itu: menjaga dan menghancurkan.
Dalam logika linear historisitas nya, tokoh-tokoh Panji bisa jadi merupakan leluhur para tokoh Mahabharata, wiracarita yang dipercaya menceritakan sejarah manusia Jawa. Panji yang disebut dalam kitab Smaradahana di masa pemerintahan Kameswara II (sekitar abad 11) merupakan personifikasi awal kekuasaan seorang raja, lebih awal dibandingkan dengan cerita Mahabharata Bharatayudha versi Mpu Sedah-Panuluh.
Panji, seturut logika Stuart Hall, merupakan sebuah praktik representasi budaya, menjadi gagasan awal politik pencitraan atawa estetisasi kekuasaan raja, yang kemudian mewujud dalam simbol-simbol budayanya: topeng (dan juga) dalam cerita-cerita turunannya seperti reog, Topeng Malang, wayang beber.
Maka, saat dinamika sosial dan budaya kini mewujud berupa ketegangan dan friksi, sektarian, disorientasi serta disidentitas, yang meminggirkan nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahan, logika cerita Panji patut menjadi awal pertanyaan introspektif bagi bangsa ini: inikah wajah Indonesia yang bertopeng, tampak halus di luar namun beringas di dalam?
Penulis adalah Purnawan Andra, alumnus Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta. Artikel ini dimuat di Harian SUARA MERDEKA edisi Minggu, 10 Juni 2012 rubrik Pamomong.