Figur Bertopi Dari Jawa Timur

FestivalPanji.id – Kebudayaan mempunyai posisi, fungsi, dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, spiritualitas, dan komunalitas sebagai basis penciptaan kreatif. Ekspresi budaya dalam suatu wilayah dapat dipahami sebagai logika kultural yang representatif dan sekaligus menjadi penanda peradaban.

Indonesia adalah sebuah wilayah dengan situs dan locus kebudayaan yang sarat dengan pesan kultural dalam harmoni kearifan lokal. Ia bisa berwujud artefak sejarah ataupun berbentuk tak benda, mulai dari seni pertunjukan, nilai dan norma sosial, prasasti hingga bangunan candi.

Candi
Candi bukan bangunan penuh batu dan patung sebagai karya seni pahat semata. Relief yang terpahat di sekujur tubuhnya ibarat mozaik visual sebagai kalimat yang menyusun kisah, sejarah atau dongeng tertentu bahkan hingga tema religiusitas. Dengan simbolisme yang dibawanya, candi dengan reliefnya ibarat perpustakaan pengetahuan dengan banyak koleksi bacaan yang menarik untuk dipelajari.

Lydia Kieven, seorang arkeolog Jerman kelahiran 1956, adalah salah seorang pembelajar relief candi selama lebih dari dua puluh tahun. Dosen Studi Asia Tenggara di Universitas Frankfurt dan Universitas Bonn ini meraih gelar akademiknya setelah meneliti Arjunawiwaha di relief-relief candi Jawa Timur. Disertasinya di University of Sidney pada tahun 2009 diterbitkan menjadi buku oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15.

Fokus dalam buku ini adalah “figur bertopi” – yang menampilkan rakyat biasa, pelayan, prajurit, bangsawan dan Pangeran Panji – sebagai tokoh unik yang menggambarkan cerita lokal. Ia merupakan contoh yang menonjol dari kreatifitas zaman Majapahit dalam konsep baru terhadap seni, sastra, dan agama, yang lepas dari pengaruh India. Lebih dari itu, arti simbolis figur bertopi ini sebenarnya membawa pengertian baru akan fungsi religius candi-candi di Jawa Timur yang bermuara pada pemahaman akan Tantra dalam agama Hindu-Budha.

Inilah sumbangan pemahaman yang penting akan kekayaan pencapaian budaya bangsa. Berdasar analisis ikonografis, kita dapat – dengan mempertimbangkan konteks seni, agama, mitologi, sejarah dan politik yang lebih luas – menarik kesimpulan tentang makna simbolis relief (h. 5). Figur bertopi yang hanya muncul di candi-candi jaman Majapahit menjadi respon kreatif kreatornya terhadap iklim budaya pada masanya. Figur bertopi bukan unsur kecil, tapi memiliki makna dan fungsi penting, yang menjadi bagian dari proses kreatif tentang perkembangan baru dalam agama, budaya, masyarakat dan politik Jawa periode Majapahit (h. 9-10)

Penulis dengan cermat meneliti aneka penggambaran dan jajaran narasi yang mengiringi kemunculan Panji sebagai figur bertopi pada dua puluh situs di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia mensinyalir bahwa pemilihan, penataan dan penempatan figur bertopi dalam tata ruang candi membentuk pesan tertentu di dalam fungsi candi, baik sebagai bangunan religius, praktik keagamaan maupun fungsi politik pada masa tertentu.

Di candi Sonokelir misalnya, figur bertopi merepresentasikan tokoh setengah-manusia setengah-dewa (h. 384). Ia melambangkan tokoh perantara sebagai semacam “pemandu agama” antara dunia manusiawi peziarah dan dunia dewata candi dalam konteks simbolisme religius doktrin Tantra berupa kemanunggalan individu dengan Ilahi, yang dicapai dalam pengalaman manunggalnya Siwa dan Sakti (h. 17, 392).

Dalam penelitiannya di candi Kendalisodo dan Panataran, penulis menemukan banyak adegan menggambarkan Panji duduk dengan sangat mesra dan erotis bersama kekasihnya Candrakirana. Ada juga banyak adegan Panji atau kekasihnya sedang menyeberang air. Dalam mitologi Hindu dan Budha, penyeberangan air adalah simbol untuk maju dari satu tingkat pengetahuan kebijaksanaan ke tingkat lebih tinggi, sehingga akhirnya dapat mencapai wahyu. Tafsir itu didukung oleh banyak adegan dalam relief yang menggambarkan Panji bersama seorang pertapa, rshi, dan mendapat pengajaran ngelmu. Kombinasi unsur Tantra dengan unsur pengajaran religius dalam gambar relief ini berfungsi untuk menyampaikan pengajaran Tantra kepada para peziarah agar mereka siap untuk pelakuan ritual pada bagian sakral di candi (Kieven dalam Nurcahyo (ed.), 2009). Panji sebagai figur bertopi melampaui makna simbolis imanennya.

 

Figur Bertopi Dari Jawa TImur 1

Panji
Maka pertanyaannya kemudian, adakah sesuatu yang luar biasa dari cerita Panji sehingga begitu banyak artefak sejarah mengabadikannya?

Roman cerita Panji adalah kisah asli Jawa Timur, bukan adaptasi dari India seperti Ramayana dan Mahabharata. Cerita Panji, sosok pangeran sederhana dan manusiawi, adalah epik yang mengetengahkan intrik kemanusiaan dari tata negara, religiusitas, sampai ideologi (cross-gender), yang telah mengemuka pada zamannya. Spektrum cerita Panji begitu luas.

Panji tidak sekadar kisah cinta antara Panji Asmarabangun dan Sekartaji. Panji menjadi contoh budaya Nusantara yang menyebar hingga ke Asia. Filolog Belanda Th. Pigeaud, pada awal abad 20 telah menyebutnya sebagai karya sastra yang telah menyebar ke Lombok, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Aceh hingga ke Campa dan Filipina. Sejarawan Australia Adrian Vickers (2009) menegaskan Panji adalah sebuah entitas yang menyediakan wawasan tentang peradaban khas Asia Tenggara. Seturut dengannya, Dwi Cahyono (2010) berpendapat kisah konstelasi politis yang melatarbelakanginya merupakan refleksi sejarah kekuasaan dari masa Airlangga, Kertanegara hingga Hayam Wuruk. Ia menjadi bukti keberhasilan strategi kebudayaan dalam proses integrasi-disintegrasi-reintegrasi bangsa hingga mencapai target doktrin politik Cakra Manggala Nusantara atau bersatunya Nusantara pada masa Gajah Mada. Cerita Panji menjadi alat diplomasi kebudayaan Majapahit dengan kerajaan di sekitarnya hingga ke Siam (Thailand), Campa (Kamboja), dan Malaya (Malaysia).

Panji adalah cerita tentang budaya Indonesia. Sebagai dokumen kultural, teks-teksnya menguraikan pola-pola aktivitas yang mengatur kehidupan rakyat. Cerita Panji juga dapat dibaca sebagai sumber pengetahuan tentang kebudayaan Nusantara dalam aktivitas artistik. Di dalamnya ada kesenian (sastra, seni pertunjukan, seni rupa, seni tari), sejarah, arkeologi, filsafat, bahkan terkait dengan aspek lingkungan hidup. Panji menjadi kisah multi simbol dan perspektif yang antropologis. Atau menurut Kieven, Panji bukan hanya pengembara, maecenas atau pahlawan budaya Jawa, tapi juga merupakan simbol religiusitas yang “melokal” dalam proses vertikal-horisontal sekaligus, bahwa “makrokosmos dan mikrokosmos sebagai salah satu […] tujuan utama adalah gabungan dari jiwa individu dengan jiwa kosmik”.

Lydia Kieven melalui buku ini mengingatkan kita untuk menjaga warisan pencapaian peradaban bangsa yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, dari ancaman amnesia kolektif, kebutaan sejarah dan refleksi masa lalu, kerusakan akibat manusia maupun alam serta faktor-faktor lainnya. Seperti dikatakannya bahwa “presentasi keahlian saya sebagai orang asing itu sebenarnya memberikan kontribusi dan memperkuat pengetahuan, kebanggaan dan rasa hormat dari orang Jawa mengenai warisan budaya mereka yang kaya.”

Oleh karenanya buku ini layak menjadi dasar pemikiran bahwa budaya Panji mesti ditempatkan pada tataran “ART” sebagai sebuah tawaran nilai peradaban. Ia merupakan sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, yang termunculkan melalui disiplin-disiplin antropologi, ideologi dan ikonografi. Dengan cara ungkapnya yang unik dan atraktif, budaya Panji sesungguhnya mampu memikat penikmatnya dan menggambarkan tentang kepemilikan budaya sebagai alat yang menjamin apresiannya bisa “memasuki” bangsa.


Ditulis oleh Purnawan Andra, staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemendikbud. Salah satu penulis buku Topeng Panji Mengajak Kepada Yang Tersembunyi (ed. Ardus M. Sawega), Solo: Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, 2014.


Figur Bertopi Dari Jawa TImur 1Judul Buku : Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15
Penulis : Lydia Kieven
Terjemahan : Arif Bagus Prasetyo
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama (Desember 2014)
Deskripsi Buku : 472 hlm.
ISBN : 978-979-91-0801-2