Wayang Thengul adalah sejenis Wayang Golek atau wayang yang menggunakan perangkat boneka kayu bulat dan tebal. Bagian bawah dan kaki dibalut dengan pakaian dan kain (sarung) dimana tangan sang dalang masuk ke dalamnya. Dalang menggerak-gerakkan boneka tersebut dengan ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan tiga jari lain memegang tangkai wayang.
Wayang Thengul merupakan ikon kesenian tradisi Kabupaten Bojonegoro, meski juga banyak terdapat di Blora dan Cepu Jawa Tengah serta sebagian menyebar di Tuban dan bahkan di Yogyakarta. Berbeda dengan wayang kulit pada umumnya, layar (kelir) yang digunakan terdapat lobang kotak di tengahnya, sehingga penonton juga dapat menyaksikan dari arah belakang layar. Hal yang sama juga terjadi pada Wayang Krucil (Wayang Klithik).
Jalan cerita yang sering dimainkan dari kesenian ini lebih banyak mengambil cerita menak, seputar kisah Umar Maya, Amir Hamzah, Damar Wulan, sejarah Kerajaan Majapahit dan juga Cerita Panji. Sedangkan kisah “Betoro Kolo” biasa dipentaskan untuk “ruwatan”.
Konon asal mula wayang thengul terinspirasi dari wayang golek menak dari Kudus. Inspirasi itu dialami pemuda Bojonegoro yang bernama Samijan dari Desa Banjarjo Kecamatan Padangan setelah menonton pertunjukan wayang golek menak kudus pada tahun 1930. Wayang menak digunakan sebagai media penyebaran agama Islam sedangkan Ki Samijan berniat membuat wayang thengul selain untuk mengembangkan kreativitas seninya juga digunakan untuk mencari nafkah (ngamen), dimana pada tahun 1930 perekonomian rakyat sangat sulit.
Didasari dengan niat yang kuat untuk berkeliling (mengembara) dari satu desa ke desa lain. Dalam bahasa Jawa “methentheng niyat ngulandara” dengan mendalang menggunakan wayang boneka kayunya, yang dijadikan nama wayangnya dengan sebutan thengul (theng dari akronim methen-theng,dan ngul dari kata ngul-andara). Ada pula yang mengartikan karena wayang thengul ini kepalanya dapat digerakan ke kiri dan ke kanan, atau methungal-methungul, maka disebut dengan wayang thengul.
Namun versi lain menyebutkan kata Thengul dalam penuturan masyarakat berasal dari kata “methentheng” dan “methungul” yang artinya karena terbuat dari kayu berbentuk tiga dimensi, maka “dhalang” harus “methentheng” (tenaga ekstra) mengangkat dengan serius agar “methungul” (muncul dan terlihat penonton).
Keberadaan wayang thengul di kabupaten Bojonegoro masih bertahan dan bahkan sudah berkembang dijadikan tarian lepas, sudah dibuat buku untuk menyosialisasikan nama 100 tokoh Wayang Thengul. Dalang wayang thengul di Bojonegoro pada tahun 2014 tercatat terdapat 17 dalang yang masih aktif memainkan wayang thengul. (h)